Gerakan DI/TII
baru2 aja kita mbahas ttg gerakan DI/TII. Ini ringkasannya... Enjoy!
GERAKAN DARUL ISLAM / TENTARA ISLAM INDONESIA (DI/TII)
Gerakan DI/TII merupakan suatu usaha untuk mendirikan Negara islam di Indonesia. Persoalan DI/TII ini merupakan masalah politik dan militer. Masalah politik ditimbulkan oleh upaya mengganti dasar negara Pancasila dengan mendirikan negara Islam. Masalah militer ditimbulkan oleh upaya membentuk kesatuan bersenjata di luar tubuh TNI, yang cenderung menimbulkan kekacauan dan teror. Pemberontakan DI/TII terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Gerakan DI/TII di Jawa Barat
Gerakan ini dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Gerakan ini dimulai ketika Jawa Barat kosong akibat ketentuan hasil Perundingan Renville yang mengharuskan pasukan TNI ditarik mundur dari kantong-kantong gerilya (hijrah) ke wilayah RI. Namun, anggota Hizbullah dan Sabilillah (kedua laskar ini di bawah pengaruh S.M Kartosuwiryo) tidak menaati ketentuan tersebut.
Kosongnya kekuatan TNI membuka jalan bagi S.M Kartosuwiryo yang bercita-cita mendirikan negara Islam menanamkan pengaruhnya. Pada bulan Maret 1948, ia membentuk gerakan darul islam (DI). Ia pun membentuk Tentara Islam Indonesia (TII), berintikan anggota Hizbullah dan Sabilillah. Markas besar Kartosuwiryo didirikan di Gunung Cepu. Pembentukan DI/TII bertujuan mendirikan Negara sendiri yang terpisah dari RI. Puncaknya, pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisayong, S.M Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Kembalinya pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Yogyakarta merupakan ancaman bagi kelangsungan dan tercapainya cita-cita S.M Kartosuwiryo. Oleh karena itu, Pasukan TNI divisi Siliwangi yang baru kembali dari hijrah harus dihancurkan, agar tidak memasuki wilayah Jawa Barat. Sehingga terjadilah bentrok antara pasukan DI/TII dengan pasukan Siliwangi.
Pada tahun 1960, pasukan Siliwangi melancarkan operasi pagar betis dengan bantuan rakyat. Sehingga, pada tanggal 4 Juni 1962 gerombolan DI/TII dapat dihancurkan. Dalam operasi Bharatayudha, S.M Kartosuwiryo dapat ditangkap di Gunung Geber, daerah Majalaya (Jawa Barat), lalu dijatuhi hukuman mati.
Gerakan DI/TII di Jawa Tengah
Gerakan DI/TII di Jawa Tengah muncul setelah pengakuan kedaulatan. Gerakan ini terjadi di sejumlah tempat terpisah, walaupun saling berhubungan.
Gerakan Amir Fatah
Amir Fatah diangkat oleh S.M Kartosuwiryo menjadi komandan pertempuran Jawa Tengah. Ia menggerakan pemberontakan di wilayah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Pemberotakan itu dapat ditumpas dengan operasi militer yang disebut Gerakan Benteng Negara. Operasi militer tersebut berturut-turut dipimpin oleh Letkol Sarbini, Letkol M.Bachrun, dan Letkol Ahmad Yani.
Pemberontakan Amir Fatah sempat menguat setelah bergabungnya sisa-sisa pemberontakan dari Angkatan Umat Islam, Batalyon 426, dan MMC. Untuk mengatasi masalah tersebut, Divisi Diponegoro membentuk pasukan khusus bernama Benteng Raiders.
Gerakan Angkatan Umat Islam
Gerakan ini dipelopori oleh Kyai Moh. Mafudz Abdurachman yang dikenal sebagai Kyai Somalangu. Ia menggerakan pemberontakan di wilayah Kebumen. Pemberontakan dapat ditumpas oleh pasukan Divisi Diponegoro di bawah pimpinan Letkol Ahmad Yani. Sisa-sisa pemberontak bergabung dengan Amir Fatah.
Pemberontakan Batalyon 426
Pemberontakan ini terjadi di Kudus dan Magelang. Para pemberontak menyatakan diri bergabung dengan DI/TII. Akibat pemberontakan itu, gerakan DI/TII di Jawa Tengah menjadi masalah yang amat serius. Untuk menumpas pemberontakan, Divisi Diponegoro melancarkan operasi militer bernama Operasi Merdeka Timur. Operasi militer tersebut dipimpin oleh Letkol Soeharto.
Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Gerakan DI/TII di Selawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pemberontakan ini berlatar belakang dari kekecewaan Kahar Muzakar terhadap pemerintah RI karena menolak keinginannya untuk menggabungkan seluruh anggota Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dengan APRIS. Alasan pemerintah adalah karena anggota KGSS harus melewati ujian penyaringan terlebih dahulu.
Pada tanggal 30 April 1950, Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah pusat yang menyatakan agar semua anggota dari KGSS dimasukkan dalam APRIS. Kahar Muzakar juga mengusulkan pembentukan Brigade Hasanudin. Namun, keinginannya ditolak pemerintah pusat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah pusat bersama dengan pimpinan APRIS mengeluarkan kebijakan dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN). Kahar Muzakar diangkat sebagai pemimpinnya dengan pangkat Letnan Kolonel.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bersama pimpinan APRIS ternyata tidak memuaskan Kahar Muzakar. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar beserta pasukannya melarikan diri ke hutan saat hari pelantikan.
Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan S.M Kartosuwiryo. Oleh Kartosuwiryo, ia diangkat menjadi panglima divisi TII. Sejak saat itu, selama hamper 14 tahun, pasukan Kahar Muzakar melakukan melakukan teror dan pengacauan di Sulawesi Selatan.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah RI bertindak tegas dengan memerintahkan operasi militer, yang berintikan pasukan dari divisi Siliwangi. Seperti di Jawa Barat, penumpasan pemberontakan memakan waktu lama. Pada bulan Februari 1965, Kahar Muzakar tewas dalam suatu sergapan. Pada bulan Juli tahun yang sama, Gerungan, orang kedua setelah Kahar Muzakar dapat di tangkap. Peristiwa itu mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Gerakan DI/TII di Aceh
Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Ia adalah gubernur militer di wilayah itu semasa perang kemerdekaan. Namun, seusai perang kemerdekaan dan Indonesia kembali dalam bentuk negara kesatuan pada tahun 1950, daerah Aceh yang sebelumnya menjadi daerah istimewa diturunkan statusnya menjadi karesidenan di bawah provinsi Sumatra Utara. Kebijakan pemerintah tersebut ditentang oleh Daud Beureueh. Pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat tentang penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia pimpinan S.M Kartosuwiryo.
Untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah RI menempuh dua pendekatan, yaitu pendekatan persuasif dan operasi militer. Pendekatan persuasif dilakukan dengan memberikan penerangan kepada rakyat untuk menghilangkan salah paham dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah. Operasi militer dilakukan untuk menghancurkan kekuatan militer DI/TII.
Pada tanggal 17-28 desember 1962 diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Musyawarah itu diselenggarakan atas inisiatif Kolonel Jasin, Pangdam I dan tokoh-tokoh pemerintah daerah. Berdasarkan hasil musyawarah itu, pemerintah menawarkan amnesti kepada Daud Beureueh asalkan ia bersedia kembali ke tengah masyarakat. Kembalinya Daud Beureueh ke tengah masyarakat, menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII di Aceh.
Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan ini dipimpin oleh Ibnu Hajar, mantan letnan dua TNI. Ia menggalang gerakan bernama Kesatuan Rakyat Jang Tertindas (KRJT). Untuk memperkuat kedudukan KJRT, mereka meminta bantuan kepada Kahar Muzakar dan Kartosuwiryo. Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia dan diangkat menjadi panglima TII untuk wilayah Kalimantan.
Pada mulanya, pemerintah RI masih memberi kesempatan kepada pemberontak untuk menyerahkan diri dan diperbolehkan kembali masuk APRIS. Ibnu Hajar memanfaatkan tawaran itu dengan mengelabuhi pemerintah untuk memperoleh senjata. Setelah keinginannya tercapai, ia kembali memberontak.
Pemerintah RI lalu bertindak tegas dengan memerintahkan suatu operasi militer. Pada bulan Juli 1963, Ibnu Hajar dapat ditangkap. Dua tahun kemudian tepatnya pada bulan Maret 1965, ia diadili oleh mahkamah militer. Pengadilan menjatuhinya hukuman mati.
Gerakan DI/TII merupakan suatu usaha untuk mendirikan Negara islam di Indonesia. Persoalan DI/TII ini merupakan masalah politik dan militer. Masalah politik ditimbulkan oleh upaya mengganti dasar negara Pancasila dengan mendirikan negara Islam. Masalah militer ditimbulkan oleh upaya membentuk kesatuan bersenjata di luar tubuh TNI, yang cenderung menimbulkan kekacauan dan teror. Pemberontakan DI/TII terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Gerakan DI/TII di Jawa Barat
Gerakan ini dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Gerakan ini dimulai ketika Jawa Barat kosong akibat ketentuan hasil Perundingan Renville yang mengharuskan pasukan TNI ditarik mundur dari kantong-kantong gerilya (hijrah) ke wilayah RI. Namun, anggota Hizbullah dan Sabilillah (kedua laskar ini di bawah pengaruh S.M Kartosuwiryo) tidak menaati ketentuan tersebut.
Kosongnya kekuatan TNI membuka jalan bagi S.M Kartosuwiryo yang bercita-cita mendirikan negara Islam menanamkan pengaruhnya. Pada bulan Maret 1948, ia membentuk gerakan darul islam (DI). Ia pun membentuk Tentara Islam Indonesia (TII), berintikan anggota Hizbullah dan Sabilillah. Markas besar Kartosuwiryo didirikan di Gunung Cepu. Pembentukan DI/TII bertujuan mendirikan Negara sendiri yang terpisah dari RI. Puncaknya, pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisayong, S.M Kartosuwiryo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Kembalinya pasukan TNI Divisi Siliwangi dari Yogyakarta merupakan ancaman bagi kelangsungan dan tercapainya cita-cita S.M Kartosuwiryo. Oleh karena itu, Pasukan TNI divisi Siliwangi yang baru kembali dari hijrah harus dihancurkan, agar tidak memasuki wilayah Jawa Barat. Sehingga terjadilah bentrok antara pasukan DI/TII dengan pasukan Siliwangi.
Pada tahun 1960, pasukan Siliwangi melancarkan operasi pagar betis dengan bantuan rakyat. Sehingga, pada tanggal 4 Juni 1962 gerombolan DI/TII dapat dihancurkan. Dalam operasi Bharatayudha, S.M Kartosuwiryo dapat ditangkap di Gunung Geber, daerah Majalaya (Jawa Barat), lalu dijatuhi hukuman mati.
Gerakan DI/TII di Jawa Tengah
Gerakan DI/TII di Jawa Tengah muncul setelah pengakuan kedaulatan. Gerakan ini terjadi di sejumlah tempat terpisah, walaupun saling berhubungan.
Gerakan Amir Fatah
Amir Fatah diangkat oleh S.M Kartosuwiryo menjadi komandan pertempuran Jawa Tengah. Ia menggerakan pemberontakan di wilayah Brebes, Tegal, dan Pekalongan. Pemberotakan itu dapat ditumpas dengan operasi militer yang disebut Gerakan Benteng Negara. Operasi militer tersebut berturut-turut dipimpin oleh Letkol Sarbini, Letkol M.Bachrun, dan Letkol Ahmad Yani.
Pemberontakan Amir Fatah sempat menguat setelah bergabungnya sisa-sisa pemberontakan dari Angkatan Umat Islam, Batalyon 426, dan MMC. Untuk mengatasi masalah tersebut, Divisi Diponegoro membentuk pasukan khusus bernama Benteng Raiders.
Gerakan Angkatan Umat Islam
Gerakan ini dipelopori oleh Kyai Moh. Mafudz Abdurachman yang dikenal sebagai Kyai Somalangu. Ia menggerakan pemberontakan di wilayah Kebumen. Pemberontakan dapat ditumpas oleh pasukan Divisi Diponegoro di bawah pimpinan Letkol Ahmad Yani. Sisa-sisa pemberontak bergabung dengan Amir Fatah.
Pemberontakan Batalyon 426
Pemberontakan ini terjadi di Kudus dan Magelang. Para pemberontak menyatakan diri bergabung dengan DI/TII. Akibat pemberontakan itu, gerakan DI/TII di Jawa Tengah menjadi masalah yang amat serius. Untuk menumpas pemberontakan, Divisi Diponegoro melancarkan operasi militer bernama Operasi Merdeka Timur. Operasi militer tersebut dipimpin oleh Letkol Soeharto.
Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan
Gerakan DI/TII di Selawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Pemberontakan ini berlatar belakang dari kekecewaan Kahar Muzakar terhadap pemerintah RI karena menolak keinginannya untuk menggabungkan seluruh anggota Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dengan APRIS. Alasan pemerintah adalah karena anggota KGSS harus melewati ujian penyaringan terlebih dahulu.
Pada tanggal 30 April 1950, Kahar Muzakar mengirim surat kepada pemerintah pusat yang menyatakan agar semua anggota dari KGSS dimasukkan dalam APRIS. Kahar Muzakar juga mengusulkan pembentukan Brigade Hasanudin. Namun, keinginannya ditolak pemerintah pusat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah pusat bersama dengan pimpinan APRIS mengeluarkan kebijakan dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN). Kahar Muzakar diangkat sebagai pemimpinnya dengan pangkat Letnan Kolonel.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah bersama pimpinan APRIS ternyata tidak memuaskan Kahar Muzakar. Akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar beserta pasukannya melarikan diri ke hutan saat hari pelantikan.
Pada bulan Januari 1952, Kahar Muzakar menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia di bawah pimpinan S.M Kartosuwiryo. Oleh Kartosuwiryo, ia diangkat menjadi panglima divisi TII. Sejak saat itu, selama hamper 14 tahun, pasukan Kahar Muzakar melakukan melakukan teror dan pengacauan di Sulawesi Selatan.
Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah RI bertindak tegas dengan memerintahkan operasi militer, yang berintikan pasukan dari divisi Siliwangi. Seperti di Jawa Barat, penumpasan pemberontakan memakan waktu lama. Pada bulan Februari 1965, Kahar Muzakar tewas dalam suatu sergapan. Pada bulan Juli tahun yang sama, Gerungan, orang kedua setelah Kahar Muzakar dapat di tangkap. Peristiwa itu mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.
Gerakan DI/TII di Aceh
Gerakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Daud Beureueh. Ia adalah gubernur militer di wilayah itu semasa perang kemerdekaan. Namun, seusai perang kemerdekaan dan Indonesia kembali dalam bentuk negara kesatuan pada tahun 1950, daerah Aceh yang sebelumnya menjadi daerah istimewa diturunkan statusnya menjadi karesidenan di bawah provinsi Sumatra Utara. Kebijakan pemerintah tersebut ditentang oleh Daud Beureueh. Pada tanggal 20 September 1953, Daud Beureueh mengeluarkan maklumat tentang penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia pimpinan S.M Kartosuwiryo.
Untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah RI menempuh dua pendekatan, yaitu pendekatan persuasif dan operasi militer. Pendekatan persuasif dilakukan dengan memberikan penerangan kepada rakyat untuk menghilangkan salah paham dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintah. Operasi militer dilakukan untuk menghancurkan kekuatan militer DI/TII.
Pada tanggal 17-28 desember 1962 diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh. Musyawarah itu diselenggarakan atas inisiatif Kolonel Jasin, Pangdam I dan tokoh-tokoh pemerintah daerah. Berdasarkan hasil musyawarah itu, pemerintah menawarkan amnesti kepada Daud Beureueh asalkan ia bersedia kembali ke tengah masyarakat. Kembalinya Daud Beureueh ke tengah masyarakat, menandai berakhirnya pemberontakan DI/TII di Aceh.
Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan
Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan ini dipimpin oleh Ibnu Hajar, mantan letnan dua TNI. Ia menggalang gerakan bernama Kesatuan Rakyat Jang Tertindas (KRJT). Untuk memperkuat kedudukan KJRT, mereka meminta bantuan kepada Kahar Muzakar dan Kartosuwiryo. Pada akhir tahun 1954, Ibnu Hajar membulatkan tekadnya untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia dan diangkat menjadi panglima TII untuk wilayah Kalimantan.
Pada mulanya, pemerintah RI masih memberi kesempatan kepada pemberontak untuk menyerahkan diri dan diperbolehkan kembali masuk APRIS. Ibnu Hajar memanfaatkan tawaran itu dengan mengelabuhi pemerintah untuk memperoleh senjata. Setelah keinginannya tercapai, ia kembali memberontak.
Pemerintah RI lalu bertindak tegas dengan memerintahkan suatu operasi militer. Pada bulan Juli 1963, Ibnu Hajar dapat ditangkap. Dua tahun kemudian tepatnya pada bulan Maret 1965, ia diadili oleh mahkamah militer. Pengadilan menjatuhinya hukuman mati.
2 comments:
blog nya cantik ......
terimakasih.. ilmunya sangat membantu.
Post a Comment